Sabtu, 10 Juli 2010
Harry Potter And the Goblet of Fire
Mimpi buruk itu datang seperti nyata. Syahdan, seorang lelaki tua terkejut ketika sebuah lampu menyala di sebuah ruangan bangunan tua. Pikirnya, anak-anak iseng sedang berulah. Dihampirinya ruangan itu. Langkah kakinya terhenti di depan pintu, ketika sebuah percakapan jahat tengah disusun Lord Voldermort dan dua pria misterius. Harry Potter harus dihabisi!
Sayang, kehadiran pak tua keburu kecium. Seekor ular besar melintas di kakinya dengan mulus. Dan, melaporkan keberadaan pak tua pada tuannya. Sekejap saja, pak tua itu dihabisi. Dus, Potter pun terbangun dari mimpinya.
Inilah pembuka dari film keempat Harry Potter. Kali ini, sutradara yang pernah menyutradarai Mona Lisa Smile--dengan bintang Julia Roberts itu--Mike Newell dipercaya untuk menyuguhkan kisah J.K Rowling itu kepada penggemarnya.
Jika kerja Newell dianggap kurang ideal dalam mewujudkan imajinasi anda seperti dalam bukunya, lupakan saja itu. Toh, sulit memang bisa menghadirkan pengadegan yang bernar-benar seperti yang anda inginkan.
Tapi setidaknya, usaha Newell dalam menghidupkan imajinasi Rowling secara nyata ke layar cukuplah sukses. Setidaknya, ia bisa mengimbangi kepiawaian sutradara Chris Columbus dan Alfonso Cuarón, yang menggarap film Harry Potter sebelumnya.
Empat tahun sudah Harry Potter (Daniel Radcliffe) berada di sekolah ilmu sihir, Hogwart. Di tahun inilah Harry lagi-lagi menjadi bintang. Sebuah turnamen antar-sekolah penyihir bertajuk Triwizard, bakal digelar. Pesertanya tentu bukan pelajar sembarangan. Selain memiliki kehebatan dan nyali lebih, umurnya pun tak boleh kurang dari 17 tahun.
Hogwart meriah. Rombongan dari dua sekolah sihir tiba. Beauxbatons Academy, yang didominasi gadis-gadis penyihir jelita datang dengan menggunakan kereta kencana yang ditarik kuda-kuda cantik putih menawan. Lain lagi dengan Durmstrang Institute Victor Krum, yang asal Rusia. Mereka tiba dengan kapal layar selam. Aneh bukan? Tapi itulah indahnya sihir dalam kisah Harry Potter. Ya, wujudnya memang kapal layar, tapi ia memiliki kemampuan bak sebuah kapal selam.
Proses pemilihan telah digelar. Mereka yang berminat, cukup menulis namanya pada secarik kertas dan melemparkannya ke dalam sebuah piala api.
Harry memilih menjadi penonton. Ia tak turut ambil bagian dalam turnamen itu, lantaran umurnya yang tak cukup. Tibalah waktu yang ditunggu. Hasilnya, tiga pelajar berhasil terpilih. Mereka adalah Cedric Diggory (Robert Pattinson) mewakili Hogwart, Fleur Delacour (Clémence Poésy) mewakili Beauxbatons Academy. Sementara Durmstrang Institute, diwakili Victor Krum (Stanislav Ianevski).
Tapi, sinar menyala keluar dari piala api, kemudian secarik kertas terlempar keluar. Semua tak terkejut, tak terkecuali Professor Dumbledore (Michael Gambon). Maklumlah, mana bisa muncul satu peserta lagi.
Yang bikin terkejut justru kertas itu menunjuk nama Harry Potter, yang usianya baru 14 tahun. Para sesepuh penyihir dibikin pusing. Tapi, akhirnya Harry diperbolehkan ikut lomba.
Harry pun jadi sorotan. Dia dituding telah berbuat curang. Konflik pun dihadirkan Newell. Hubungan Harry dengan sahabatnya, Ron Weasley (Rupert Grint), dimunculkan. Tak cukup itu saja, Harry yang kini mulai tumbuh remaja, mulai menampakkan perasaannya pada lawan jenis. Seorang gadis cantik berdarah China, Cho Chang (Katie Leung), membuat hatinya bergetar.
Konflik bathin berkecamuk. Perasaan itu datang membara, tapi ia tak punya nyali untuk bisa mendekat. Ketika kesempatan itu datang, justru sang merpati telah digaet orang. Cho Chang keburu dipinang Cedric untuk jadi pasangan dansanya, pada pesta dansa yang digelar di sela turnamen.
Tiga tantangan dirancang. Siapa yang trengginas, dia lah yang jadi pemenang. Mengambil telur emas yang dijaga naga ganas, menjadi permainan pertama. Harry kedapatan beraksi paling bontot. Meski diragukan namun akhirnya dengan sapu terbangnya, ia sukses menyabet telur itu dari kandang sang naga.
Harry memang gemilang. Kejernihan hati telah mengalahkan ambisinya. Ya, dia memang penyihir muda berhati mulia. Barangkali inilah nilai-nilai kemanusian yang hendak diusung Rowling lewat sosok rekaannya Harry Potter. Di tengah ambisi dan popularitas diagung-agungkan, Harry justru hadir dengan hati yang bening. Cinta dan kasih sayang adalah segalanya.
Lihat saja, ketika tahap kedua digelar. Ia rela mengorbankan nyawanya demi adik Fleur Delacour yang terjebak di dasar danau.
Sisi kemanusian itulah, yang kali ini memiliki kadar lebih. Newell berhasil menghadirkannya begitu kentara. Ada cinta yang mulai mekar, persahabatan dan kematian. Cinta pula tumbuh di hati Hermione Granger (Emma Watson) yang jatuh hati kepada Victor Krum. Tapi, cerita kematian pun menjadi yang mengharukan ketika turnamen itu telah memakan korban. Salah satu dari peserta harus menemui kematiannya.
Seri keempat Harry Potter ini memang terasa semarak dan lebih berwara. Mulai jalinan cerita atau pula tokoh-tokoh yang dimunculkan. Dari sederet tokoh baru, barangkali sorotan patut diberikan kepada Alastor ’Mad*Eye’ Moody (Brendan Gleeson), guru misterius dengan polahnya yang bengal.
Ia begitu jatuh hati pada sosok Harry Potter. Lewat Mad Eye, kabut mimpi yang terus menerus membayangi Harry justru terkuak.
Menyaksikan Harry Potter And the Goblet of Fire berarti menyaksikan betapa indahnya menjelajah sebuah dunia imajinasi yang tak mungkin pernah dijumpai di alam nyata.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar